GADAIKREDITCEPAT.COM – Sebuah cahaya terang yang mencolok muncul secara tiba-tiba dari makam Proklamator Republik Indonesia, Soekarno, yang terletak di Kota Blitar. Fenomena aneh ini disaksikan oleh Baby Huwae, seorang bintang film terkenal pada tahun 1960-an. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan Baby, tetapi Bung Karno lebih suka memanggilnya Lokita Purnamasari. Nama yang diberikan oleh Bung Karno itu kemudian menjadi identitas barunya, dan di malam tahun 1978, saat mengunjungi makam Bung Karno, cahaya itu muncul di hadapannya.
Baby segera berangkat ke Blitar setelah mendengar kabar bahwa makam Bung Karno akan dipugar. Proyek pemugaran tersebut mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat, dan informasi resmi disampaikan oleh Ali Moertopo, tangan kanan Presiden Soeharto. Pada tanggal 24 Januari 1978, di tengah perayaan HUT Partai Demokrasi Indonesia di gedung Gelora Manahan, Solo, Letjen Ali Moertopo memberi pengumuman bahwa makam Bung Karno, yang baru berusia sewindu, akan dipugar. Rencana dan tanggung jawab pemugaran ini langsung datang dari Presiden Soeharto.
Ketika melihat cahaya yang melesat keluar dari pusara Bung Karno, Baby tak dapat berkata-kata. Cahaya tersebut tampak terbang dengan cepat menuju Candi Penataran, candi terbesar di Jawa Timur yang berlokasi di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, dan berada di sebelah utara makam. Dalam hati, Baby bertanya-tanya, “Apa makna dari kejadian ini? ” seperti yang ditulis oleh Andjar Any dalam bukunya, “Misteri Mistik Bung Karno. ” Dalam lingkaran pergaulannya, Baby dikenal memiliki kemampuan metafisika, dan pengalaman aneh ini bukanlah yang pertama baginya.
Pernah, saat berada di Istana Mangkunegaran Solo, ia merasakan suasana duka yang kental. Perasaannya terbukti benar ketika Gusti Puteri Mangkunegoro meninggal dunia. Kini, setelah menyaksikan cahaya itu, rasa sedih tiba-tiba menyerang hatinya tanpa sebab yang jelas. Ada nuansa kehilangan yang membuat Baby ingin bersemedi (bermeditasi) untuk mencari jawaban.
Seiring dengan proses meditasinya, Baby merasakan bahwa makam Bung Karno di Blitar kini telah kosong. Ia menekankan bahwa “kosong” di sini tidaklah berarti secara fisik, tetapi secara batiniah, seperti yang dituliskan oleh Andjar Any dalam “Misteri Mistik Bung Karno. ” Menurutnya, roh Bung Karno telah berpindah ke Batu Tulis di Bogor, dekat Istana Hing Puri Bima Sakti. Spekulasi mulai berkembang terkait hal ini, terutama dengan surat wasiat yang pernah ditulis oleh Bung Karno.
Dalam surat wasiatnya pada 6 Juni 1962, Bung Karno menyatakan bahwa jika ia meninggal, ia ingin dikubur di bawah pohon rindang. Ini merupakan pesan yang ditujukan kepada keluarganya. Surat wasiat yang dibuat pada 16 September 1964 di Bogor juga mengandung pesan serupa. Namun, surat wasiat yang ditulis pada 24 Mei 1965 lebih eksplisit, menyatakan bahwa ia telah menentukan lokasi kuburannya di Kebun Raya Bogor, dekat bekas kolam permandian yang membukit. Di dalam bukunya “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,” Bung Karno kembali menegaskan wasiatnya ini kepada jurnalis Cindy Adam.
Bung Karno pernah mengungkapkan bahwa ia tidak ingin dikuburkan seperti Mahatma Gandhi. Baginya, makam Gandhi yang dikelilingi berbagai hiasan dari Pandit Jawaharlal Nehru terkesan terlalu megah. Ia menginginkan makamnya kelak terletak di bawah pohon rindang, dikelilingi oleh keindahan alam, di tepi sungai, dan di antara deretan bukit yang berombak. “Aku ingin rumahku yang terakhir ini berada di sekitar Kota Bandung, di tengah daerah Priangan yang sejuk dan nyaman, di lembah yang subur, di mana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen,” ungkap Bung Karno dalam karya-karyanya.
Kesehatan Bung Karno mulai memburuk sejak 20 Juni 1970. Berdasarkan laporan medis dari Tim Dokter yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mahar Mardjono, Bung Karno wafat pada pukul 07. 00 WIB tanggal 21 Juni 1970. Saat jenazahnya disemayamkan di Wisma Yaso, banyak tokoh yang datang untuk memberikan ucapan bela sungkawa, di antaranya Jenderal A. H. Nasution, Buya Hamka, Prof. Sumitro, dan Jenderal Sarwo Edi. Tampak pula mantan istrinya, Inggit Garnasih, yang langsung datang dari Bandung, bersama Haryati, Yurike Sanger, dan Ratna Sari Dewi yang duduk berdekatan dengan Hartini.
Sementara Fatmawati hanya mengirimkan karangan bunga duka cita yang bertuliskan, “Cintamu selalu menjiwai rakyat. Cinta, Fat. ” Namun, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 44 Tahun 1970, jenazah Bung Karno tidak dapat dimakamkan sesuai dengan keinginannya. Presiden Soeharto menetapkan lokasi makamnya di Blitar.
Baca Juga : Kisah Misteri Danau Sunter dan Pulau Kecilnya: Legenda tentang Istana Mariam di Jembatan Ancol